judul gambar
Memuat...

Jumat, 27 November 2015

Oleh: Idris Apandi*)

SANGAT menarik dan inspiratif acara Mata Najwa yang disiarkan di Metro TV tanggal 26 Nopember 2015.  Acara yang bertajuk “Belajar dari Ki Hajar Dewantara”  tersebut menghadirkan sejumlah tokoh sebagai narasumber antara lain pakar pendidikan Ki Supriyoko, Litasari dan Ganawati, dua cucu Ki Hajar Dewantara yang pernah merasakan dididik langsung oleh Bapak Pendidikan Indonesia tersebut, Mendikbud Anies Baswedan, penulis dan aktivis pendidikan Bukik Setiawan, dan sejumlah guru berprestasi seperti Badriah, Guru Bahasa Inggris di SMAN 2 Cianjur Jawa Barat, Tomi Zapino, guru IPA di SMAN 2 Seruay Aceh, dan Istiqomah Al Maki, Guru Bahasa Indonesia dari SMAN 1 Batu Jawa Timur, serta sejumlah narasumber lainnya.

Pada acara tersebut, dengan gaya khasnya, Najwa Shihab, sang pembawa acara menyampaikan berbagai pertanyaan yang kritis kepada tiap-tiap narasumber. Dari uraian dialog pada acara tersebut, Saya melihat ada empat catatan yang bisa diambil. Pertama, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan bahwa secara filosofis dan operasional pendidikan Indonesia harus mengacu kepada ajaran dan pikiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang menekankan bahwa sekolah harus menjadi sebuah taman belajar bagi setiap peserta didik.

Sekolah sebagai sebuah taman belajar akan mewujudkan sebuah pembelajaran yang menyenangkan sekaligus menantang pada setiap anak didik. Anak didik tidak sabar ketika menunggu waktu belajar, nyaman dan betah selama mengikuti kegiatan belajar, dan merasa berat hati jika waktu belajar berakhir. Litasari dan Ganawati, dua cucu Ki Hajar Dewantara mengaku bahwa mereka sangat senang diajar oleh kakeknya tersebut karena mengajari mereka matematika sambil bermain di taman sekolah sehingga pembelajaran tidak membosankan.
Kedua, pendidikan harus melibatkan tiga institusi yang dikenal sebagai “Tri Pusat Pendidikan”, yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga institusi pendidikan tersebut harus bersinergi, seiring sejalan dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam konteks pendidikan, mengutip ucapan Ki Hajar Dewantara, sang host Najwa Shihab mengatakan bahwa “tiap-tiap orang menjadi guru dan tiap rumah menjadi perguruan.” Selanjutnya Ki Supriyoko menambahkan bahwa Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa “keluarga adalah sekolah yang pertama dan ibu adalah guru adalah pendidik yang utama.”

Ki Hajar Dewantara adalah pemikir pendidikan modern. Bukik Setiawan mengatakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara sangat update pada zamannya bahkan melampaui zamannya. Pemikir pendidikan barat seperti Montessory pada tahun 1940-an pernah berkunjung ke Perguruan Taman Siswa untuk belajar kepada Ki Hajar Dewantara. Gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara justru banyak digunakan di negara eropa seperti Finlandia yang saat ini dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan paling baik di dunia.

Bukik Setiawan menyampaikan bahwa anak jangan diposisikan sebagai kertas kosong, tetapi sebagai seorang manusia yang aktif mencari pengetahuan dan belajar secara mandiri, filsafat pendidikan yang mendasarinya adalah konstruktivisme. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa ganjaran dan hukuman (reward and punishment) tidak tepat digunakan untuk mengajarkan tanggung jawab dan menegakkan disiplin kepada anak didik. Ki Hajar mengatakan bahwa “ganjaran dan hukuman jangan diberikan agar anak tidak berperilaku karena sekedar mendapatkan hadiah atau menghindari hukuman.” Selanjutnya Ki Hajar berpendapat bahwa “yang menghancurkan budi pekerti adalah paksaan dan hukuman.” Dengan kata lain, setiap anak didik harus didik secara humanis, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan karena pada dasarnya pendidikan adalah sebuah proses untuk “memanusiakan manusia.”

Ketiga, untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, diperlukan guru yang kreatif dan inovatif, guru yang mau menjadi pembelajar sepanjang hayat, guru yang mau melakukan refleksi diri terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukannya, dan guru yang mau meningkatkan profesionalismenya secara berkelanjutan. Guru-guru yang kreatif dan inovatif adalah guru yang tidak kehabisan ide untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, berani tampil beda, mau berpikir terbuka, mau menerima perubahan, berpikir out of the box, berani keluar dari pakem-pakem administrasi dan prosedur pembelajaran yang kadang mengekang, dan mau mencari serta mencoba pendekatan, model, metode, strategi, dan teknik pembejajaran yang baru dalam rangka membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.

Sosok-sosok seperti Badriah, Tomi Zapino, dan Istiqomah Al Maky adalah tiga dari sekian banyak guru yang kreatif dan inovatif. Kreativitas dan inovasi yang mereka lakukan dalam pembelajaran mengantarkan mereka menjadi guru berprestasi dan berkesempatan untuk tampil pada acara Mata Najwa untuk sharing pengalaman terbaiknya (best practice) dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga mampu meningkatkan minat, motivasi, kepercayaan diri, dan prestasi belajar anak-anak didiknya.

Badriah, Juara I Guru Berprestasi Jawa Barat, yang sehari-hari mengajar bahasa Inggris di SMAN 2 Cianjur menggunakan metode dialog jurnal. Metode tersebut digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan keberanian, kepercayaan diri, dan kemampuan siswa dalam menulis menggunakan bahasa Inggris, karena banyak siswanya yang tidak berani menulis menggunakan bahasa Inggris dengan alasan bingung atau takut salah.

Di setiap akhir pelajaran, bu Badriah memberikan kesempatan selama sepuluh menit kepada setiap siswanya untuk menuliskan pengalaman atau unek-uneknya dalam sebuah jurnal menggunakan bahasa Inggris. Bu Badriah menekankan kepada siswa untuk menulis dengan menggunakan bahasa Inggris ala Cianjur, tanpa memperhatikan grammar. Yang penting siswa memiliki kemauan untuk menulis, dan yang penting dapat dipahami maksudnya.

Untuk mendorong para siswa untuk mau menulis, bu Badriah membolehkan siswa untuk menggakan 10 kata kata selain selain bahasa Inggris, seperti bahasa Indonesia atau bahasa Sunda. Dan seiring dengan perkembangan zaman, maka tulisan-tulisan yang pada awalnya ditulisan pada jurnal, maka tulisan tersebut ditulis pada ditulis melalui media sosial seperti WA, BBM, atau FB messenger karena dinilai lebih praktis. Penggunaan metode tersebut terbukti mampu meningkatkan keberanian, kepercayaan diri, dan kemampuan siswa menulis bahasa Inggris secara bertahap selama delapan bulan.

Tomi Zapino, guru berprestasi dari Seruay Aceh menggunakan metode simulasi “dot to dot” untuk meningkatkan minat dan kemampuan siswa pada pelajaran IPA. Metode tersebut juga merupakan sebuah inovasi dalam pelaksanaan tes hasil belajar dimana selama ini siswa terlihat bosan dalam mengerjakan soal-soal yang dengan model yang konvensional dimana Tomi menyusun soal dalam bentuk titik-titik (dot) yang menghubungkan antara soal yang satu dengan soal lainnya hingga membentuk sebuah pola. Dengan demikian, para siswa dapat mengerjakan soal-soal test dengan lebih menyenangkan sekaligus menantang.

Istiqomah Al Maky, guru berprestasi asal SMAN 1 Batu Jawa Timur dikenal sebagai guru yang “anti” mengajar dengan menggunakan buku paket dari pemerintah karena setelah dianalisis strukturnya isinya dinilai kurang relevan dengan minat dan kebutuhan siswa. Beliau lebih memilih untuk menyusun bahan sendiri dan melakukan strategi agar para siswanya bisa dengan mudah menganalisis isi cerpen, antara lain mengajak siswa ke perpustakaan dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih cerpen yang disenanginya lalu menganalisisnya.

Istiqomah mengaku lebih banyak mengajarkan materi pelajaran secara praktek daripada secara teoritik, mendorong setiap siswa untuk aktif berdiskusi sehingga prestasi siswa-siswanya lebih baik. Beliau tidak suka melakukan ulangan berupa test soal dengan format pilihan ganda karena menurutnya, hidup itu tidak ada pilihan a, b, c, d, e, serta meminimalisasi penggunaan kertas ketika ulangan. Dia bisa mengoreksi ulangan siswa dimana saja dan kapan saja.

Di akhir sesi dialog, Istiqomah membacakan sebuah puisi yang ditulis oleh salah seorang siswanya yang membuat seluruh orang yang hadir di studio tertegun mendengarkan bait demi bait puisi yang dibacanya dengan sangat penuh penghayatan dan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. Hadirin pun bertepuk tangan ketika Bu Istiqomah selesai membaca puisi.

Berkaca kepada cara ketiga guru tersebut diatas, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan bahwa mereka masing-masing memiliki cara tersendiri dan yang paling penting adalah mereka mengajar dengan sepenuh hati. Jika guru mengajar dengan sepenuh hati, maka siswa pun akan belajar dengan sepenuh hati.

Keempat, Mendikbud Anies Baswedan mengajak kepada seluruh guru di Indonesia untuk menjadi guru yang sepenuh hati, guru yang mengispirasi, dan guru yang memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada setiap anak didik untuk berkreasi. Guru-guru pun harus terus belajar dan belajar kapan pun, dimanapun, dan dari manapun dalam rangka memberikan layanan pendidikan terbaik kepada anak-didiknya. Maju terus guru Indonesia untuk pendidikan Indonesia yang main baik.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Kamis, 26 November 2015

UKG Susulan 11 - 14 Desember 2015
PGRI Bluluk --- Kabar terbaru bagi guru di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang belum mengikuti UKG tahap satu tanggal 9 s.d. 27 November akibat tidak terdaftar, atau terdaftar namun verifikasinya tidak valid, bahwa UKG susulan akan dilaksanakan pada tanggal 11 s.d 14 Desember 2015.

Seperti dilansir di laman Kemdikbud, Kepala Bagian Perencanaan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Tagor Alamsyah Harahap mengatakan, guru-guru yang ingin mengikuti UKG susulan dapat mendaftarkan diri dan melakukan verifikasi ulang ke dinas pendidikan di daerahnya masing-masing. Verifikasi yang dilakukan harus valid, agar tidak terulang lagi kesalahan verifikasi, seperti adanya perbedaan antara mata pelajaran yang diampu guru dengan yang keluar saat uji kompetensi, atau mata pelajarannya benar, namun jenjang pendidikan pada soal yang keluar di UKG berbeda.
“Guru yang sudah sertifikasi, mata pelajarannya sesuai dengan sertifikasinya itu. Sedangkan guru yang belum sertifikasi bisa memilih mata pelajaran dalam UKG, sesuai yang diampu atau yang diajarkannya di kelas,” ujar Tagor saat gelar wicara dengan Radio Sindo Trijaya FM, di Kantor Kemendikbud, Jakarta, (26/11/2015).
Baca Juga: Informasi UKG Kemenag 2015
Ia mengatakan, hingga kemarin, (26/11/2016), ada 2.360.388 guru yang sudah mengikuti uji kompetensi. “Itu berarti sudah 91 persen. Sisanya ada 226.885 guru yang akan mengerjakan uji kompetensi sampai nanti jadwal selesai, yaitu 27 November,” katanya. Ia menuturkan, penyelenggaraan uji kompetensi guru selama ini berjalan dengan baik. Hambatan kecil yang terjadi di lapangan dapat diselesaikan sesuai prosedur.
Untuk melakukan cek UKG Susulan silahkan kunjungi Peserta UKG Tahp 2 2015
Tagor juga kembali menegaskan, tidak ada sanksi yang diberikan kepada guru yang memiliki nilai buruk dalam UKG. Uji kompetensi guru, katanya, ditujukan untuk bercermin, dan memotret serta menganalisa peta kompetensi individu masing-masing guru. Tindak lanjut dari UKG 2015 adalah berupa pendidikan dan pelatihan (diklat) yang lebih terarah untuk guru-guru sesuai dengan pemetaan yang dihasilkan dari UKG. “Apapun nilai UKG, itu hanya dijadikan baseline untuk treatment atau perbaikan,” tutur Tagor. (*)
PGRI Bluluk --- Di tengah euforia ucapan selamat hari guru yang jatuh pada 25 Nopember kemarin, ada yang menarik disampaikan oleh KH. Mustofa Bisri, pengasuh pondok pesantren Roudlotut Tholibin Rembang Jawa Tengah. Melalui status yang diunggah di akun facebook 'Ahmad Mustofa Bisri' pada tanggal 25 Nopember Pukul 11.15, Gus Mus, - demikian beliau akrab dipanggil - menuturkan soal batas-membatasi. 

Menurut kiai yang juga budayawan itu, orang yang suka membatas-batasi, umumnya memiliki pengetahuan yang terbatas. Misalnya, orang membatasi santri hanya sebatas yang mondok di pesantren, membatasi Islam hanya sebatas urusan fiqh, membatasi ibadah hanya sebatas salat, puasa, zakat, dan haji, membatasi rahmat Allah hanya sebatas untuk dirinya dan kelompoknya, membatasi jihad sebatas perang bersenjata, dan lain sebagainya.
Karena keterbatasan pengetahuanlah yang kemudian membuat orang membuat batasan tertentu untuk istilah-istilah tertentu.

Mengenai GURU, menurut Gus Mus, banyak juga yang membatasi hanya sebatas mereka yang mengajar di sekolahan dan madrasah. Bahkan ada yang membatasi hanya sebatas mereka yang termasuk anggota PGRI. Padahal menurutnya, siapapun saja bisa menjadi guru. Lebih lanjut Gus Mus menuturkan, minimal untuk dirinya sendiri, siapa saja bisa menjadi guru, tentu saja dengan syarat, ada sesuatu darinya yang bisa diGUgu (percaya dan ikuti ucapan-ucapannya) dan ditiRU (contoh). 
"Boleh jadi kalian, atau di antara kalian, diam-diam adalah guru-guruku dalam berbagai hal dan bidang," tegasnya lebih lanjut. "Nyatanya di facebook saja, berapa banyak Aku mendapat pelajaran. Baik dari status maupun komentar-komentar atas status. Mulai pelajaran tentang resep masakan, tentang akik, tentang kesehatan, tentang obat-obatan tradisional, tentang adat-istiadat, hingga tentang kearifan dan pelajaran hidup."
 "Maka apabila hari ini aku mengucapkan selamat Hari Guru dan berterimakasih serta mendoakan kepada guru-guruku, itu artinya: termasuk untuk dan kepada kalian juga. Selamat Hari Guru. Semoga semua guru senantiasa diberi rahmat dan berkah Allah. Dimudahkan hidupnya di dunia mau pun di akhirat kelak. Amin." demikian Gus Mus menulis diakhir statusnya.

Sejak berita ini ditulis, status yang diunggah dua hari lalu itu telah dibagikan sebanyak 2056 kali, 6.513 suka, dan dikomentari 447 orang.(*)
Anggota Komite III DPD RI, Fahira Idris. FOTO: DOK.JPNN.com
PGRI Bluluk – MASIH dalam rangkaian HUT PGRI ke-70, DPD RI bekerjasama dengan PB PGRI menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Kebijakan Pengelolaan Guru Untuk Mutu Pendidikan". Seminar tersebut mengeluarkan 10 rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah dan DPR. Salah satu rekomendasi adalah meminta pemerintah mencabut moratorium pengangkatan guru untuk mencukupi kebutuhan guru di Indonesia.

Rekomendasi kedua yang dibacakan oleh anggota Komite III DPD RI, Fahira Idris diakhir seminar yang digelar di lobi Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (26/11). adalah pemerintah harus mewujudkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen, murni untuk pendidikan, di luar gaji dan di luar anggaran Kementerian dan Lembaga kedinasan lainnya. 
Ketiga, minta pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 Tentang Guru. Rekomendasi ketiga lanjut senator asal DKI Jakarta ini, mendesak Pemerintah memperbaiki data pendidikan, untuk menjadi pedoman dalam pemenuhan kebutuhan guru.

“Keempat, mendorong Pemerintah untuk melakukan proses penjaminan mutu terhadap LPTK termasuk LPTK yang dikelola swasta serta memperhatikan nasib guru honorer terkait status kepagawaian dan juga standar minimal penghasilan guru honorer,” tegasnya.

Selain itu, DPD dan PGRI meminta pemerintah bersikap objektif, profesional dan beritikad baik untuk pengembangan organisasi profesi guru serta memperkuat organisasi profesi guru untuk mengadvokasi kepentingan guru, termasuk upaya melindungi dari politisasi guru.

Bahkan forum seminar juga merekomendasikan agar pemerintah daerah menjadikan momentum otonomi daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, mutu guru dan tenaga kependidikan serta mendorong pemerintah untuk memberikan perhatian yang sama terhadap pendidikan yang di bawah Kementerian Agama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.(sumber: jpnn.com)
 

SEMINAR DPD. Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hood (kiri) bersama Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sudarsono Hardjo Sudarsono Hardjosoekarto, dan sejumlah senator saat pembukaan seminar nasional DPD RI dengan tema “Kebijakan Pengelolaan Guru untuk Peningkatan Mutu Pendidikan”, Kamis 26 November di Lobi Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. IDRIS PRASETIAWAN/FMC 


SEMINAR DPD. Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hood (kiri) bersama Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Haris Almasyhari (kanan), dan sejumlah senator saat pembukaan seminar nasional DPD RI dengan tema “Kebijakan Pengelolaan Guru untuk Peningkatan Mutu Pendidikan”, Kamis 26 November di Lobi Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. IDRIS PRASETIAWAN/FMC 


SEMINAR DPD. Para narasumber seminar nasional DPD RI, dari kiri, Ketua Umum PB PGRI Sulistyo, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Haris Almasyhari (kedua kiri), Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Prof Kamaruddin Amin (kedua kanan), dan Direktur Pembinaan Guru Pendidikan Menengah Kemdikbud Anas M Adam (kanan), Kamis 26 November di Lobi Nusantara V Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Seminar nasional tersebut mengambil tema “Kebijakan Pengelolaan Guru untuk Peningkatan Mutu Pendidikan”, IDRIS PRASETIAWAN/FMC 
sumber photo: fajarmediacenter.com
Oleh Prof. Drs. Tans Feliks, M.Ed., Ph.D.
Dosen FKIP, Undana, Kupang

PGRI Bluluk - Pada bulan November 2015 ini, jutaan guru di seluruh Indonesia mengikuti ujian kompetensi guru (UKG). Tujuannya adalah untuk mengetahui kompetensi profesional (kemampuan menguasai bahan ajar) dan pedagogis (kemampuan memahami cara mengajar para guru) --kompetensi sosial dan individual tidak diuji. Dari hasil UKG itu diketahui peta kedua jenis kompetensi guru itu dalam rentangan 1 (terjelek) sampai 100 (terbaik).

Menurut Kemdikbud, seperti yang sering disampaikan di media massa, guru yang memperoleh hasil UKG kurang dari 60 akan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya, bila perlu, sampai memperoleh nilai 100, sebuah nilai yang, rupanya, tidak mustahil. Tahun lalu dua orang guru mendapat nilai 100.

Mereka pun diberi "hadiah" melakukan studi banding di Belanda. Tahun ini, yang mendapat nilai 100 akan ke Belanda, Swiss, Jepang, Korea, Jerman, dan Australia (Kompas, 13/11/2015, hlm. 11, Penilaian Tak Cukup Ujian: Guru Berharap Ada Tindak Lanjut dari Uji Kompetensi).

Pelatihan dan insentif tersebut, tentu, mendorong para guru untuk belajar semakin rajin dan, karena itu, bisa memperoleh nilai terbaik atau, minimal, tidak sampai di bawah 60. Persoalannya adalah apakah ketika nilai UKG para guru seperti itu dan, karena itu, mereka dinilai kompeten, mutu pendidikan di Indonesia pada umumnya, pendidikan dasar dan menengah pada khususnya, membaik?

Menurut Kemdikbud, iya. Asumsinya, guru yang (sangat) kompeten akan menghasilkan juga tamatan yang (sangat) kompeten. Persoalannya, apakah asumsi itu benar. Asumsi itu, dalam banyak hal, salah dan, karena itu, dia merupakan sebuah sesat pikir pemerintah dalam mengelola pendidikan.

Sebagai sebentuk sesat pikir, hasil akhirnya, tentu, tidak akan membuat mutu pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Sebab pendidikan bukan hanya soal guru. Pendidikan juga pertama-tama dan terutama soal murid: bakat/potensi, minat, dan kebutuhan belajarnya (Bdk. C. Rogers,1983, Freedom to Learn for the 80's. New York: Merrill).

Ketika para murid belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya, pas dengan bakat/potensinya, dan cocok dengan minatnya, sejatinya, belajar dan pembelajaran (teaching and learning), menjadi (sangat) efektif. Pengalaman hidup sehari-hari mendukung tesis tersebut (Bdk. Howard Gardner. Dalam C. A. Budiningsih, 2004, Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta).

Sebaliknya, jika kebutuhan belajar, bakat/potensi, minat murid diabaikan, belajar dan pembelajaran menjadi (sangat) tidak efektif. Seorang murid SMP, misalnya, yang tidak berniat melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi karena kesulitan biaya atau pertimbangan lainnya dan, karena itu, setelah tamat SMP akan kembali ke kampungnya --tempat semua orang tidak menggunakan bahasa Indonesia, apalagi bahasa Inggris -- belajar bahasa Inggris, misalnya, tidak relevan.

Karena tidak relevan, apa pun yang diajarkan gurunya, betapa pun gurunya sangat kompeten dalam mengajarkan mata pelajaran itu, murid itu, secara umum, pasti tidak akan tertarik untuk mengikutinya. Dia mungkin akan duduk secara sopan dalam kelas, tetapi perhatiannya di luar kelas. Dia, mungkin, akan datang dan pulang tepat waktu, tetapi itu dilakukannya hanya karena takut disiksa oleh gurunya.

Lebih parah lagi, anak-anak di kota besar yang merasa tanpa masa depan karena sehari-hari menjadi korban kekerasan jalanan. Bagi mereka, kematian sering mengintai. Karena itu, tidak mengherankan kalau mereka juga sering berpikir bahwa mereka, mungkin, akan berpulang ke rumah Bapak di surga dalam waktu dekat; di Bumi ini, mereka merasa tak berpengharapan. Tak punya mimpi. Masa depan gelap-gulita.

Bagi anak seperti itu, guru paling kompeten dan sangat jenius serta mahaguru terbaik sekalipun tidak akan pernah mampu membuat suasana belajar dan pembelajaran efektif. Tidak pernah. Mustahil. Sebaliknya, bagi seorang anak yang hidupnya penuh harapan, sarat dengan mimpi indah, hari esok disambut secara cerah-ceria, belajar dan pembelajaran (sangat) efektif ketika, bahkan, para gurunya tidak kompeten secara profesional atau pedagogis sekalipun. Yang penting, tentu, mereka, para guru itu, punya kompetensi sosial dan individual yang baik --dua jenis kompetensi yang sangat penting, tetapi tidak diuji dalam UKG.

Buah kompetensi sosial dan individual seperti kerendahan hati, persahabatan, kerja keras-cerdas, dedikasi tanpa pamrih dan ketulusan dalam mengajar lebih dari cukup untuk membantu mereka dan murid mereka keluar dari kesulitan dan menjadi kritis, kreatif-produktif, dan mandiri. Ketika para murid, misalnya, menanyakan kepada para gurunya soal bahasa Inggris yang mereka tak paham, mereka mengakui bahwa mereka tak paham soal itu.

Akan tetapi, pengakuan itu, tentu, bukan berarti mengangkat tangan dan menyerah. Tidak. Tidak sama sekali. Pengakuan itu, bagi para guru yang rendah hati, berarti bertanya kepada guru lain di sekolahnya atau di sekolah lain atau kepada siapa pun yang mampu menjawab persoalan muridnya sampai persoalan itu terjawab secara benar. Mereka terus berusaha sampai muridnya keluar dari masalahnya.

Ketika para guru melakukan itu, mereka, sesungguhnya, menunjukkan kompetensi sosial dan invidualnya yang, dalam contoh di atas, luar biasa. Ironisnya, kedua jenis kompetensi itu diabaikan dalam UKG padahal efeknya sangat besar demi keberhasilan belajar seorang murid -- sebuah contoh lain dari sesat pikir pendidikan pemerintah.

Dalam alur pikir demikian, saya berharap para guru lulus UKG dengan nilai 100, kalau bisa. Walaupun demikian, jika nilainya rendah, mereka tidak perlu galau. Apalagi resah-sedih. Apalagi menangis. Tidak boleh. Sebab mutu pendidikan, dalam banyak hal, tergantung bukan hanya pada hasil UKG -- jelek atau baik - -tetapi pada bakat, minat, dan kebutuhan belajar murid dan ketulusan guru untuk membantu muridnya, kapan pun dan di mana pun bantuan itu dibutuhkan.

Dalam banyak hal, kehebatan para guru menjadi sia-sia kalau para muridnya tidak punya bakat, minat, dan kebutuhan belajar pada materi yang diajarkan. Sebaliknya, kompetensi profesional dan pedagogik para guru yang (sangat) lemah tidak harus berarti pendidikan yang tidak bermutu kalau mereka punya kompetensi sosial dan individual yang istimewa di tengah muridnya yang belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya, pas dengan bakat/potensinya, dan sesuai dengan minatnya. Itu saja sudah cukup bagi terciptanya sebuah pendidikan yang bermutu.

Apalagi jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa ketulusan untuk membantu para murid keluar dari masalahnya secara tekun terus-menerus, dalam banyak hal, bukan soal hasil UKG saja: guru yang bernilai UKG 100 belum tentu tulus membantu, bukan?

Jadi, kalau mau pendidikan di negeri ini bermutu, sistem pendidikan khas Indonesia yang berorientasi pada siswa -- kebutuhan belajarnya, bakat/potensi, dan minatnya -- perlu segera dibangun secara mantap (Bdk. Feliks Tans, Kompas Siang, 18/11/2014, Membangun Pendidikan Khas Indonesia). Itu prasyarat dasar bagi terciptanya suasana belajar dan pembelajaran yang aktif, kritis, kreatif, dan mandiri. Tanpa itu, pendidikan di negeri ini akan terus kalah bersaing walaupun nilai UKG para gurunya 100 semuanya.*

Sumber: http://kupang.tribunnews.com/2015/1...

Rabu, 25 November 2015

PGRI Bluluk --- Dalam rangkaian acara Hari Guru Nasional (HGN) dan HUT PGRI yang ke-70, dua ribuan anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi DKI Jakarta melakukan upacara dan tabur bunga di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta, Selasa (24/11), pagi. Upacara dan Tabur Bunga ini dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional dan Ulang Tahun PGRI ke-70 dipimpin oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
 
Dalam Upacara dan Tabur Bunga yang bertema Persembahan Bagimu Pahlawan tersebut, turut hadir Ketua Umum Pengurus Besar (PB) PGRI, Sulistyo dan rombongan dan jajaran pengurus Provinsi PGRI DKI Jakarta pimpinan Agus Suradika. Didampingi para pengurus teras PB PGRI pusat dan Provinsi, Menag selaku pimpinan rombongan melakukan tabur bunga ke tiga makam, di Komplek TMP Kalibata.

Makam pertama adalah makam mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Ir Sumantri Brojonegoro (03-06-1916/18-12-1973). Selanjutnya Menag menabur bunga ke Makam KH Moch Dahlan, mantan Menteri Agama dan anggota DPA RI (02-06-1909/01-02-1977). Terkahir, Menag menabur bunga ke makam mantan ketua umum PB PGRI yang juga mantan anggota MPRS, RME Subiadinata (10-07-1915/19-09-1969).

Sempat ditanya wartawan terkait kesejahteraan guru, Menag menyatakan, bahwa Pemerintah berjanji mensejahterakan para pendidik tersebut. “Harapan Kami, ke depan, tidak ada yang namanya Guru Honorer. Karena posisi guru adalah posisi yang sangat mulia dan harus kita hormati,” terangnya.

Hal ini, lanjutnya, juga sesuai dengan undang-undang. Jika seorang pengajar sudah mengajar minimal 2 tahun, selayaknya, guru tersebut tidak disebut sebagai guru honorer. “Kami akan mengupayakan semaksimal mungkin, agar pemerintah menambah ASN untuk guru,” katanya.

Namun, Menag mengatakan bahwa saat ini kemampuan pemerintah sangat terbatas. Perekonomian Indonesia dan dunia belum menggembirakan. “Meski demikian, kami, Pemerintah, akan semaksimal mungkin mensejahterakan masyarakat,” terang Menag. Menag melihat, ke depan, tidak ada perbedaan antara guru ilmu umum dan guru ilmu agama, karena keduanya mempunyai profesi yang sama penting dan mulianya. “Kita lihat kondisi APBN kita, tapi intinya, pemerintah serius untuk meningkatkan kesejahteraan guru,” imbuhnya.

Tanggal 25 November ditetapkan sebagai hari lahir PGRI, karena pada tanggal tersebut, 70 tahun lalu, PGRI berdiri di Surakarta, Jawa Tengah. Eksistensi PGRI semakin kentara, saat tanggal 24 November juga diperingati sebagai Hari Guru Nasional, melalui Kepres No 78 tahun 1994. Puncak HUT PGRI rencananya akan digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada 13 Desember 2015 yang akan dihadiri lebih dari 100 ribu guru dan tenaga kependidikan dari seluruh Indonesia.(*)

Sumber: Portal Kemenag

Selasa, 24 November 2015

Logo Kemdikbud
PGRI Bluluk --- TINGGAL selangkah lagi kita memasuki tahun 2016. Itu artinya, ada beberapa kebijakan yang akan diterapkan oleh Kemdikbud terkait dengan sertifikasi guru di Indonesia pada tahun 2016. Dalam Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang guru disebutkan, bahwa sertifikasi adalah kegiatan pemberian sertifikat pendidik kepada Guru dan Dosen. Dalam jangka waktu 10 (Sepuluh) tahun, pemerintah diwajibkan untuk mengeluarkan anggaran untuk pelaksanaan sertifikasi itu kepada GURU DALAM JABATAN, yaitu guru yang ketika undang-undang itu ditetapkan sudah berstatus sebagai guru. Artinya, yang berhak dibiayai unntuk pelaksanaan sertifikasi adalah guru-guru yang diangkat maksimal Desember 2005. 

Lantas, bagaimana dengan guru-guru yang diangkat mulai Januari 2016?

Dikutip dari situs kemdikbud.go.id, bahwa guru-guru yang diangkat mulai januari 2016 harus membiayai sendiri sertifikasinya. Namun, hal tersebut tidak serta merta membuat Kemdikdub lepas tangan. Kemendikbud sudah menyiapkan bantuan afirmasi untuk pemenuhan kualifikasi guru dan program sertifikasi, hanya saja berlaku untuk guru di daerah-daerah tertentu.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Sumarna Surapranata mengatakan, salah satu bantuan afirmasi yang sudah berjalan untuk pemenuhan kualifikasi akademik guru adalah di daerah Maluku. “Sekitar 11.600 guru dibiayai dan disekolahkan ke Universitas Terbuka,” ujarnya saat menggelar jumpa pers di kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin (7/9/2015).
Lebih lanjut ia mengatakan, bantuan afirmasi untuk program sertifikasi guru akan dimulai pada tahun 2016 hingga tahun 2019. Mulai tahun 2016, guru harus membiayai sendiri program sertifikasinya. Ia mencontohkan proses sertifikasi di profesi akuntan atau pengacara. Untuk mengikuti sertifikasi profesi akuntan dan pengacara/advokat, mereka membiayai sendiri dan tidak didanai pemerintah. Pranata juga mengatakan, sertifikasi merupakan kebutuhan masing-masing guru, apalagi sertifikasi menjadi salah satu syarat seorang guru berhak mendapatkan tunjangan profesi guru (TPG).
Saat ini, tutur Pranata, dari total 2.294.191 guru PNS dan Guru Tetap Yayasan (GTY), ada 1.580.267 guru yang sudah mendapatkan sertifikasi. Sertifikasi tersebut diperoleh melalui PSPL (Pemberian Sertifikat Pendidik Secara Langsung), PF (Portofolio) dan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Sedangkan sebanyak 166.770 guru belum mendapatkan sertifikasi, dan 72.082 di antaranya sudah memenuhi syarat sebagai peserta program sertifikasi tahun 2015 dan sedang menjalani program sertifikasi. Mereka semua adalah guru dalam jabatan, yaitu sudah menjadi guru maksimal pada Desember 2005, sehingga program sertifikasinya masih menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sedangkan sebanyak 547.154 orang, katanya, akan memulai program sertifikasi pada tahun 2016.  Mereka adalah orang-orang yang mulai menjadi guru pada 1 Januari 2006 ke atas. Sertifikasi akan dilakukan melalui Program PPG (Pendidikan Profesi Guru), Program Afirmasi dan pembiayaan sendiri dari guru yang bersangkutan.“Saat ini sedang dibahas Program PPG berasrama. Kita targetkan 60.000 (guru) per tahun,” tutur Pranata. (Red)

PGRI Bluluk --- PARA guru yang berada di lingkungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah melaksanakan Uji Kompetensi Guru (UKG) mulai tanggal 7 - 29 Nopember 2015. Bagi yang belum terjaring sebagai peserta UKG, Kemdikbud juga mengadakan UKG susulan yang rencananya dilaksanakan tanggal 7 Desember 2015. Lantas, bagaimanakah guru yang berada di bawah naungan Kementrian Agama?

Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pendis Kemenag nomor Dj.I/HM.01/3319/2015 tanggal 11 November 2015 perihal Pelaksanaan Uji Kompetensi Guru (UKG) bagi Guru Madrasah. UKG di bawah Kemenag direncanakan akan dilaksanakan mulai 11 Desember 2015. Sedangkan, proses registrasi dan penetapan peserta piloting UKG Madrasah 2015 akan dilaksanakan melalui Layanan SIMPATIKA, yang merupakan metamorfosis PADAMU NEGERI, setelah sebelumnya PADAMU NEGERI sudah tidak lagi diberlakukan di Kemdikbud.

Informasi yang disampaikan admin SIMPATIKA melalui halaman facebook, bahwa proses registrasi dimaksud akan dilaksanakan mulai tanggal 26 November 2015 sampai dengan 4 Desember 2015. Untuk itulah, seluruh Pendidik (Guru) Madrasah diminta untuk melakukan Cetak Kartu Digital PTK periode Semester 1 TP. 2015/2016 melalui akun individu masing-masing di SIMPATIKA. Proses registrasi UKG dimaksud juga sebagai bahan pemetaan pelaksanaan UKG di periode 2016 tahun depan.(*)

Download Surat Ditjen Pendis Pelaksaan UKG Madrasah 2015

PGRI Bluluk --- DALAM Rangka memperingati Hari Ibu tgl 22 Desember 2015, Badan Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Lamongan, bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena Lamongan dan ECC Gramedia Lamongan mengadakan lomba menulis essay dengan tema "Ibuku, Inspirasiku". Untuk itu, bisa disampaikan informasi ini kepada para siswa untuk merangsang kreatifitas menulis mereka.

Adapun Syarat dan Ketentuan Lomba Menulis adalah sebagai berikut:

  1. Jumlah 1-3 halaman, spasi 1,5, font Times New Roman font 12, ukuran kerta A4.
  2. Margin (garis): atas, bawah, samping kiri dan kanan (semua sisi 3 cm atau 1,18 inchi), beri nomor halaman.
  3. Tema “Ibuku, Inspirasiku. Kenangan paling mengesankan bersama ibu.”
  4. Tidak mengandung pornografi dan kekerasan, serta tidak menyinggung SARA.
  5. Kirim naskah ke email: flplamongan@gmail.com (dengan menulis di judul/subjek email: Nama penulis-Judul naskah-asal sekolah)
  6. Setiap peserta hanya boleh mengirim 1 naskah terbaik.
  7. Karya belum pernah dipublikasikan di media mana pun (facebook, blog, dll) atau diikutsertakan dalam lomba yang serupa.
  8. Peserta adalah pelajar di SMP/SMA atau sederajat, Kabupaten Lamongan dan sekitarnya (Tuban, Bojonegoro, Gresik).
  9. Peserta tidak dipungut biaya apapun, alias gratis
  10. Dianjurkan membawa surat utusan atau rekomendasi sekolahnya (membawa surat rekomendasi sekolah pada pelaksanaan seminar kepenulisan, pada Minggu 6 Desember 2015).
  11. Pengumpulan karya terakhir pada 2 Desember 2015 pukul 00:00 WIB
  12. Melampirkan identitas diri (biografi penulis disatukan dengan file naskah)

HADIAH LOMBA:
Juara 1 : Trophy + Piagam + Uang pembinaan
Juara 2 : Trophy + Piagam + Uang pembinaan
Juara 3 : Trophy + Piagam + Uang pembinaan
Juara Harapan 1 : Piagam + Paket Buku
Juara Harapan 2 : Piagam + Paket Buku
Juara Harapan 3 : Piagam + Paket Buku


CONTACT PANITIA:
H. R. Umar Faruq : 0857 311 45674
Triana Dewi : 081 2354 5364
Pin BBM : 57307A33

Minggu, 22 November 2015

Untuk Peserta Segala Usia Total Hadiah: Uang Rp. 9,5 Juta & Paket Buku Senilai 3 Juta
Ketentuan Umum Lomba
  1. Cerita yang dibuat merupakan cerpen yang disajikan untuk anak-anak (segmentasi pembacanya: anak-anak)
  2. Tema cerpen bebas tetapi Islami (boleh kisah sehari-hari, dunia sekolah/ pesantren, dakwah, motivasi, petualangan, detektif, dll)
  3. Cerpen boleh berdasarkan kisah nyata, fiksi, maupun campuran keduanya
  4. Peserta tidak dikenakan biaya apa pun (gratis)
  5. Usia peserta bebas (boleh anak-anak, remaja, maupun dewasa/umum)
  6. Karya yang dikirim merupakan hasil karya sendiri, orisinal, serta belum pernah dipublikasikan atau dilombakan sebelumnya
  7. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 karya
  8. Karya dikirim dalam bentuk printout (2 ek-semplar) ke alamat OMAH DAKWAH PRO-U MEDIA, Jl. Jogokariyan 41 Yogyakarta 55143 (Pada amplop ditulis Lomba Menulis Cerita Anak Islami)
  9. Batas maksimal pengiriman cerpen tanggal 26 Desember 2015 Cap Pos.
  10. Para pemenang akan diumumkan pada 26 Januari 2016 lewat website www.proumedia.co.id. Dan, para pemenang juga akan dihubungi langsung oleh panitia.
  11. Setiap karya yang dikirimkan menjadi hak milik panitia (Pro-U Media)
  12. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.
Ketentuan Teknis
  1. Naskah diketik dalam format MS Word Times New Roman 12, Spasi 1,5. Ukuran kertas kuarto (A4), margin 3-3-3-3.
  2. Panjang cerpen 4-10 halaman.
  3. Setiap naskah disertai data diri peserta (Nama, TTL, Alamat & nomor handphone yang bisa dihubungi, alamat e-mail, dan judul cerpen) dalam lembar terpisah dari naskah.
Hadiah
– Juara 1: Uang Tunai Rp 5.000.000 + Paket buku senilai Rp 500.000
– Juara 2: Uang Tunai Rp 3.000.000 + Paket buku senilai Rp 500.000
– Juara 3: Uang Tunai Rp 1.500.000 + Paket buku senilai Rp 500.000
– Juara Harapan (3 pemenang): @Paket buku senilai Rp 500.000
Info Lomba: www.proumedia.co.id
CP: SMS dan WA ke 0857 29 555 000 (Eko)
BIASANYA, sekolah selalu membanggakan diri dengan menyebut sebagai sekolah luar biasa, unggulan, bonafide, favorit, terakreditasi, bertaraf internasional, dan lainnya. Biasanya pula sekolah selalu berburu prestasi, piala, serta tunduk-taklid pada standar kurikulum, metode pembelajaran, penilaian, kualifikasi guru, dan sarana-prasarana dari pemerintah resmi.

Namun karakteristik sekolah pada umumnya tersebut justru tidak terdapat di sekolah yang satu ini. Alih-alih mengikuti standarisasi pendidikan dari pemerintah, sekolah ini justru membuat “standar” mereka sendiri. Kurikulum dari pemerintah resmi sekadar jadi bahan pembanding kurikulum yang mereka buat sendiri. Lebih dari itu anak-anak tak dianjurkan untuk berideologi kompetisi dan mengejar prestasi-prestasi semu. Bahkan pengelolanya sendiri menjuluki sekolah ini sebagai “Sekolah Biasa Saja” (2014). 

Itulah sekaligus judul buku yang ditulis oleh Toto Rahardjo dan diterbitkan oleh Progress, Yogyakarta, Desember 2014. Buku setebal 183 halaman plus cover dan halaman depan tersebut mengulas sekolah unik bernama Sanggar Anak Alam (Salam) secara tuntas. Dari soal filosofi, ideologi, hingga praksis pedagogiknya. Di sinilah tampak bahwa istilah “Sekolah Biasa Saja” yang disematkan pada Salam oleh penulis sebenarnya adalah sindiran untuk sekolah-sekolah yang sudah “tidak biasa” alias “tidak lazim” lagi sekarang ini.
Baca juga : Menyongsong Era Kecerdasan Baru: Totalitas Inteligensi
Bagi Toto sekolah adalah hal biasa yang manusiawi. Hal yang tidak biasa justru dipertunjukkan oleh sebagian besar sekolah-sekolah kita hari-hari ini. Antara lain (1) desain sekolah seperti penjara (gedung terisolasi dari masyarakat dengan pagar tinggi dan penjagaan ketat dari Satpam), (2) belajar materi yang tidak berkaitan dengan kebutuhan hidup riil anak didik dan banyak membebani, (3) pembelajaran banyak yang tidak membangun nalar kritis dan rasa ingin tahu serta keberanian anak didik, dan (4) biaya sekolah mahal.

Ironisnya selama ini semua hal tersebut dianggap lazim dan wajar. Makin lama sekolah makin berlomba-lomba membangun gedung mewah yang terpisah dari masyarakat. Alasannya untuk menjaga konsentrasi belajar dan kedisiplinan. Materi yang dipelajari namun tidak berkaitan dengan kebutuhan hidup riil anak juga tetap diberikan dengan dalih “pasti suatu saat nanti akan berguna, terutama jika studi lanjut”. Dari tahun ke tahun sekolah-sekolah justru menjadi lembaga pengkebiri imajinasi, potensi, dan otentisitas diri anak-anak.

Hal-hal itulah yang mesti dikhawatirkan, karena praksis pedagogik bisa jadi mubazir bila dasar pijakannya tidak kuat, salah arah, dan cara serta medianya tidak tepat. Salam, yang dikelola oleh Toto Rahardjo bersama Wahya (istrinya) dan warga Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, mulai tahun 2000 menggunakan dasar filosofi humanis dan kritis-transformatif.

Paling tidak terdapat empat karakter yang membedakan Salam dari sekolah lain pada umumnya, yaitu Salam (1) menggunakan filosofi pedagogik humanistik, (2) berorientasi pada anak, (3) berpendekatan holistik dalam proses pembelajaran, dan (4) menguatkan jalinan partisipatoris-demokratis antara guru, murid, dan orang tua (hal. 91-94).

Tentu bagi pembaca yang berlatar akademik sarjana pendidikan, atau minimal para peminat dan praktisi pendidikan, empat karakter tersebut bukan hal baru. Namun Salam mempraktikkannya secara sungguh-sungguh dan serius, bukan cuma sekadar teori yang dipelajari di kampus-kampus atau istilah yang tercantum dalam dokumen kurikulum dan kebijakan saja selama ini. Dan buku ini mengulas dengan baik bagaimana praktik riilnya pembelajaran humanis, kritis, demokratis, partisipatoris, dan transformatif di Salam.

Pada bab metodologi di buku ini misalnya, setelah mengulas mengenai hakikat belajar-mengajar, Toto bercerita mengenai pembelajaran di Salam yang dialogis, berbasis pada pengalaman dan realitas terdekat murid. Secara lebih rinci juga diulas bahwa proses pembelajaran di Salam merupakan rangkaian upaya agar murid mampu (1) melakukan rekonstruksi, (2) mengungkapkan, (3) menganalisis, (4) menarik simpulan, dan (5) bersikap dan melakukan tindakan atas/terhadap pengetahuan yang dipelajari (hal. 24-27). Melampaui pendekatan saintifik dalam Kurikulum 2013 bukan?

Dengan begitu, hal yang dipelajari murid diarahkan betul untuk mengasah nalar kritisnya, dan pada akhirnya tidak berhenti menjadi pengetahuan belaka, melainkan sampai pada tindakan riil murid atas hal yang mereka pelajari. Toto pun menjelaskan bagaimana cara menyiapkan rencana proses belajar secara demokratis dan partisipatif bersama-sama. Termasuk memberikan gambaran metode pembelajaran dan kontrak belajarnya (hal. 28-37).

Gambaran dan cerita lebih detail proses pembelajaran di Salam diceritakan oleh Hasriadi Ary dan Mellanie Febrista. Misalnya bagaimana ketika Mas Yudhis (salah satu pendamping murid di Salam) menerangkan perbedaan baris dan kolom (hal. 39-41, cerita pembelajaran berbasis riset di pasar ikan Pasty dan angkringan Wongso (hal. 114-142), dan cerita wawancara Satiti dengan mbah Udan Sore (hal. 142-145).

Di situ terlihat bagaimana anak-anak diajak ke realitas langsung untuk belajar ilmu ekonomi, matematika, logika, keberanian, kepemimpinan, dan kekompakan kelompok secara tematik. Belum lagi ketika murid-murid menggelar tradisional bulanan. Sesuatu yang agaknya tidak pernah terpikirkan di sekolah-sekolah formal lain pada umumnya.

Itulah kiranya yang diharapkan dan dimaksud oleh Toto Rahardjo sebagai “Sekolah Biasa Saja”. Sekolah yang dalam teori psikologi belajar klasik mampu mengasah dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik secara tepat sesuai karakter, usia, dan kematangan mental, intelektual, sosial masing-masing. Sekolah yang “anehnya” justru tidak mengikuti aturan dan standar resmi pemerintah.

Karakter dan orientasi Salam tersebut tidak mengherankan, mengingat Toto Rahardjo dan Wahya — sebagaimana juga diceritakan di buku ini (hal. 49-53) — adalah anak didik ideologis Romo Mangun, seorang pendidik yang menggagas dan memperjuangkan pendidikan pemerdekaan untuk rakyat. Selain itu pengalaman sebagai aktivis gerakan sosial dari Toto dan Wahya dalam menjadi basis pengalaman berharga untuk sabar dan telaten mengembangkan Salam.

Bagi yang mengikuti diskursus pedagogi kritis dan/atau pendidikan kritis di Indonesia, buku ini dapat dikatakan sebagai lanjutan dari tulisan Toto Rahardjo dan kawan-kawan yang lebih bersifat teoretis sebelumnya berjudul “Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis (2010) terbitan Insist Press, Yogyakarta. Ibaratnya buku “Sekolah Biasa Saja” ini adalah wujud praksisnya. Walau secara teknis buku ini terdapat beberapa salah ketik dan kurangnya penjelasan dan kejelasan si pencerita, namun secara substansi sangat berbobot. (*)
Peresensi : Edi Subkhan
Judul buku : Sekolah Biasa Saja
Penulis : Toto Rahardjo
Penerbit : Progress, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2014
Tebal : xxii + 183 halaman

Sabtu, 21 November 2015

Tanpa uji sertifikasipun, kalau para guru mempersembahkan hidupnya secara total untuk mewujudkan proses pendidikan yang berkualitas, produk pendidikan akan dapat dipertanggungjawabkan pada kurun waktu kedepan. Dan yakinlah, ketika hal itu dilakukan dengan formulasi hati yang selesai – meminjam bahasanya Emha –, barakah Allah akan berseliweran menaungi kehidupan. Masih percayakah para guru dengan manajemen ’barakah’ ditengah hiruk pikuk zaman yang serba mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini?
TAK dimungkiri, tingkat kemajuan sebuah bangsa tak bisa dilepaskan dari baik buruknya proses pendidikan yang dilaksanakan. Sebab, pendidikan adalah upaya meletakkan manusia pada tingkat tertinggi dari maqam kemanusiaan. Tanpa melakukan proses pendidikan, manusia hanya akan berujud manusia dalam dataran fisik. Namun sesungguhnya, ia sama sekali tak berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain, bahkan mungkin rendah dari itu. Itulah sebabnya, jikalau suatu bangsa menginginkan dirinya menjadi bangsa yang maju dan beradab, syarat utama yang harus dipenuhi adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan mengedepankan kualitas pendidikan dalam segala aspeknya .

Dalam konteks inilah, pelaksanaan sertifikasi guru sebagai implementasi Undang-undang Guru dan Dosen menemukan relevansinya. Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia mulai berpikir meningkatkan mutu pendidikan dengan menerbitkan Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang tersebut, selain bertujuan meningkatkan mutu guru dan dosen sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan di tingkat praktis, langkah ini juga bermuara pada peningkatan kesejahteraan guru secara finansial. Hal penting yang patut dipertanyakan adalah, apakah pelaksanaan sertifikasi itu akan secara otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, untuk selanjutnya meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa ketika kesejahteraan hidup telah terpenuhi, kualitas guru juga akan lebih bermutu? Tidakkah sertifikasi itu dimaknai oleh sebagian guru dengan “kegiatan mengumpulkan sertifikat” yang ujung-ujungnya hanya keinginan mendapatkan kesejahteraan semata, tanpa pernah memiliki keinginan meningkatkan kompetensi secara signifikan?

Kegamangan tersebut setidaknya dilatarbelakangi oleh fakta di lapangan, betapa banyak peserta sertifikasi yang melakukan kegiatan tak terpuji, yang tentu saja semakin mencoreng wajah dunia pendidikan kita. Seperti kasus yang terjadi di Universitas Negeri Malang beberapa waktu yang lalu (Surya, 23/09/07), banyak ditemukan peserta uji sertifikasi yang melakukan kecurangan demi kecurangan. Memalsukan piagam dengan memanfaatkan piranti tekhnologi semacam scanner bukan hal yang sulit pada masa ini, penelitian tindakan kelas (PTK) yang ternyata menjiplak karya milik orang lain menjadikan guru sebagai plagiator yang tentu saja sebuah kejahatan intelektual yang tragis. Bahkan kasus yang lebih parah adalah ditemukannya peserta dari Madiun yang melakuan semacam money politik dengan menyelipkan uang kertas senilai Rp. 100.000,- diantara berkas portofolio Bukankah hal semacam ini bertolak belakang dengan tujuan utama sertifikasi yang sejatinya adalah meningkatkan kualitas mutu guru sebagai pendidik yang profesional?

Pada titik ini, makalah yang disampaikan Dr. Fasli Jalal, Phd. pada seminar pendidikan yang diselenggarakan PPS Unair, tanggal 28 April 2007 di Surabaya patut dijadikan pegangan bagi guru yang sedang atau akan melakukan sertifikasi. Menurut Direktur Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional ini, sertifikasi sebagai upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan hendaknya dipahami secara utuh. Sejak awal harus ada penekanan, khususnya dikalangan para pendidik, bahwa sertifikasi bukanlah yang utama. Sertifikasi hanyalah sarana bagi guru untuk sampai pada keadaan tertentu, yang dalam hal ini adalah peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, harus ada pemisahan yang jelas antara tujuan yang akan dicapai dengan alat yang mendukung pencapaian tujuan tersebut. Kalau kemudian ada peningkatan kesejahteraan guru dalam hal tunjangan profesi, hal itu semata-mata konsekuensi logis dari kemampuan yang dimaksud.

Namun sayangnya, dalam beberapa kasus yang ditemui dalam pelaksanaan uji sertifikasi yang telah berjalan selama ini, entah disadari atau tidak seringkali ditemui para guru terjebak pada kedangkalan cara berfikir dengan meletakkan sertifikasi sebagai tujuan yang harus dicapai. Kasus yang terjadi di Malang sebagaimana yang dituturkan diatas hanyalah sekedar contoh. Betapa ketika sertifikasi itu menjadi tujuan utama, para guru rela melakukan berbagai cara – termasuk yang tidak dibenarkan sekalipun – demi memuluskan keinginannya mendapatkan tunjangan profesi. Pada titik ini, tidak penting apakah ia memiliki kompetensi atau tidak. Bahkan ketika pelaksanaan seminar pendidikan yang menjamur mengiringi pelaksanaan sertifikasi, insiden buruk kerap terjadi. Tentang kesediaan guru mengeluarkan sejumlah uang tidak dalam rangka meningkatkan kompetensi, tapi hanya sekedar untuk memperoleh sertifikat, dan lain sebagainya. Yang terpenting bagi guru model ini adalah bagaimana bisa lulus, sehingga ketika sertifikat pendidik telah tergenggam di tangan, ia memiliki kemungkinan mendapatkan kehidupan yang layak dengan memperoleh tunjangan profesi. Sungguh ironis memang!

Jalan satu-satunya yang bisa ditempuh agar pendidikan di Indonesia mendapatkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan adalah kembali pada masing-masing guru untuk membangun komitmen dengan menyadari posisinya masing-masing. Guru memang memiliki fungsi strategis dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung-jawab. Permasalahannya kemudian, bagaimana seorang guru mampu menjalankan fungsi semacam itu jika ia sendiri tidak memiliki karakter sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang. Analoginya sederhana, mungkinkah seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain jika ia tak memiliki sesuatu untuk diberikan? Mungkinkah seseorang memberikan uang jika ia sama sekali tak memiliki uang? Hal semacam ini patut menjadi renungan kita bersama, terutama para pendidik yang ketercerahan kehidupan masa depan terletak dipundaknya.
Menjadi guru mungkin bukan pilihan, tapi ketika seorang manusia telah terseret dalam arus pusaran takdir dengan keniscayaan menjadi guru tanpa kemampuan sedikitpun menghindar dari keniscayaan semacam itu, pada saat yang bersamaan ia harus segera menyadari bahwa profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Bahkan saking mulianya profesi itu, Sayyidina Ali yang merupakan pintu ilmu, bersedia menjadi hamba seseorang yang mengajarkan satu huruf kepadanya. Maka alangkah naifnya jika hanya demi mengejar perolehan materi semata, guru bersedia melakukan tindakan tak terpuji yang mengesampingkan aspek moralitas.
Saya tak mengatakan bahwa uji sertifikasi bukan hal yang penting. Tapi percayalah, tanpa uji sertifikasipun, kalau para guru mempersembahkan hidupnya secara total dengan kemauan mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, produk pendidikan akan dapat dipertanggungjawabkan pada kurun waktu kedepan. Dan yakinlah, ketika hal itu dilakukan dengan formulasi hati yang selesai – meminjam bahasanya Emha –, barakah Allah akan berseliweran menaungi kehidupan kita semua. Masih percayakah para guru dengan manajemen ’barakah’ ditengah hiruk pikuk zaman yang serba mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini?***

*) arsip tulisan lama oleh Em. Syuhada', Guru MI Roudlotun Nasyiin 2 Mojokerto
dimuat Majalah MPA Jatim, September 2007
DALAM rangkaian acara HUT PGRI dan HGN ke-70, PGRI Bluluk Lamongan turut berpartisipasi dalam beberapa even yang dilaksanakan, salah satu diantaranya adalah menghadiri Resepsi HUT PGRI Jawa Timur yang diselenggarakan di Taman Candrawilwatikta Pandaan Pasuruan. Bergabung dengan tiga kecamatan lainnya, yakni Sukorame, Modo, dan Ngimbang, pada sabtu pagi (21/11) rombongan yang diwakili 4 (empat) orang masing-masing cabang berangkat menggunakan satu mobil elf menyusuri jalan kabuh, mojokerto, gempol hingga sampai di titik lokasi.

Ditempat acara, sambutan dari tuan rumah patut diacungi jempol. Sebelum sampai di acara malam harinya, rombongan yang datang mulai pagi hari disediakan tempat transit di beberapa Sekolah Dasar yang tersebar di beberapa titik. Kabupaten Lamongan sendiri di jamu di SD Jogosari I Jalan RA. Kartini. Beberapa makanan dan minuman ringan siap sedia, mulai snack, kopi, teh, dan lain-lain. Ruangan kelas pun disulap menjadi tempat peristrahatan. Untuk mempermudah akses ke lokasi acara, petugas Go-Jek telah disiagakan.

Di bawah ini beberapa titik yang sempat kami potret:

 

 























Pengunjung Blog

DAFTAR ISI

Arsip Blog

Flag Counter

Flag Counter

Pengikut

Breaking News

Artikel Populer Minggu Ini

Lomba

More on this category »

Esai

More on this category »

Resensi Buku

More on this category »