judul gambar
Memuat...

Sabtu, 21 November 2015

Tanpa uji sertifikasipun, kalau para guru mempersembahkan hidupnya secara total untuk mewujudkan proses pendidikan yang berkualitas, produk pendidikan akan dapat dipertanggungjawabkan pada kurun waktu kedepan. Dan yakinlah, ketika hal itu dilakukan dengan formulasi hati yang selesai – meminjam bahasanya Emha –, barakah Allah akan berseliweran menaungi kehidupan. Masih percayakah para guru dengan manajemen ’barakah’ ditengah hiruk pikuk zaman yang serba mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini?
TAK dimungkiri, tingkat kemajuan sebuah bangsa tak bisa dilepaskan dari baik buruknya proses pendidikan yang dilaksanakan. Sebab, pendidikan adalah upaya meletakkan manusia pada tingkat tertinggi dari maqam kemanusiaan. Tanpa melakukan proses pendidikan, manusia hanya akan berujud manusia dalam dataran fisik. Namun sesungguhnya, ia sama sekali tak berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain, bahkan mungkin rendah dari itu. Itulah sebabnya, jikalau suatu bangsa menginginkan dirinya menjadi bangsa yang maju dan beradab, syarat utama yang harus dipenuhi adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan mengedepankan kualitas pendidikan dalam segala aspeknya .

Dalam konteks inilah, pelaksanaan sertifikasi guru sebagai implementasi Undang-undang Guru dan Dosen menemukan relevansinya. Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia mulai berpikir meningkatkan mutu pendidikan dengan menerbitkan Undang-undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang tersebut, selain bertujuan meningkatkan mutu guru dan dosen sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan di tingkat praktis, langkah ini juga bermuara pada peningkatan kesejahteraan guru secara finansial. Hal penting yang patut dipertanyakan adalah, apakah pelaksanaan sertifikasi itu akan secara otomatis meningkatkan kualitas kompetensi guru, untuk selanjutnya meningkatkan mutu pendidikan? Adakah jaminan bahwa ketika kesejahteraan hidup telah terpenuhi, kualitas guru juga akan lebih bermutu? Tidakkah sertifikasi itu dimaknai oleh sebagian guru dengan “kegiatan mengumpulkan sertifikat” yang ujung-ujungnya hanya keinginan mendapatkan kesejahteraan semata, tanpa pernah memiliki keinginan meningkatkan kompetensi secara signifikan?

Kegamangan tersebut setidaknya dilatarbelakangi oleh fakta di lapangan, betapa banyak peserta sertifikasi yang melakukan kegiatan tak terpuji, yang tentu saja semakin mencoreng wajah dunia pendidikan kita. Seperti kasus yang terjadi di Universitas Negeri Malang beberapa waktu yang lalu (Surya, 23/09/07), banyak ditemukan peserta uji sertifikasi yang melakukan kecurangan demi kecurangan. Memalsukan piagam dengan memanfaatkan piranti tekhnologi semacam scanner bukan hal yang sulit pada masa ini, penelitian tindakan kelas (PTK) yang ternyata menjiplak karya milik orang lain menjadikan guru sebagai plagiator yang tentu saja sebuah kejahatan intelektual yang tragis. Bahkan kasus yang lebih parah adalah ditemukannya peserta dari Madiun yang melakuan semacam money politik dengan menyelipkan uang kertas senilai Rp. 100.000,- diantara berkas portofolio Bukankah hal semacam ini bertolak belakang dengan tujuan utama sertifikasi yang sejatinya adalah meningkatkan kualitas mutu guru sebagai pendidik yang profesional?

Pada titik ini, makalah yang disampaikan Dr. Fasli Jalal, Phd. pada seminar pendidikan yang diselenggarakan PPS Unair, tanggal 28 April 2007 di Surabaya patut dijadikan pegangan bagi guru yang sedang atau akan melakukan sertifikasi. Menurut Direktur Jendral Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional ini, sertifikasi sebagai upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan hendaknya dipahami secara utuh. Sejak awal harus ada penekanan, khususnya dikalangan para pendidik, bahwa sertifikasi bukanlah yang utama. Sertifikasi hanyalah sarana bagi guru untuk sampai pada keadaan tertentu, yang dalam hal ini adalah peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, harus ada pemisahan yang jelas antara tujuan yang akan dicapai dengan alat yang mendukung pencapaian tujuan tersebut. Kalau kemudian ada peningkatan kesejahteraan guru dalam hal tunjangan profesi, hal itu semata-mata konsekuensi logis dari kemampuan yang dimaksud.

Namun sayangnya, dalam beberapa kasus yang ditemui dalam pelaksanaan uji sertifikasi yang telah berjalan selama ini, entah disadari atau tidak seringkali ditemui para guru terjebak pada kedangkalan cara berfikir dengan meletakkan sertifikasi sebagai tujuan yang harus dicapai. Kasus yang terjadi di Malang sebagaimana yang dituturkan diatas hanyalah sekedar contoh. Betapa ketika sertifikasi itu menjadi tujuan utama, para guru rela melakukan berbagai cara – termasuk yang tidak dibenarkan sekalipun – demi memuluskan keinginannya mendapatkan tunjangan profesi. Pada titik ini, tidak penting apakah ia memiliki kompetensi atau tidak. Bahkan ketika pelaksanaan seminar pendidikan yang menjamur mengiringi pelaksanaan sertifikasi, insiden buruk kerap terjadi. Tentang kesediaan guru mengeluarkan sejumlah uang tidak dalam rangka meningkatkan kompetensi, tapi hanya sekedar untuk memperoleh sertifikat, dan lain sebagainya. Yang terpenting bagi guru model ini adalah bagaimana bisa lulus, sehingga ketika sertifikat pendidik telah tergenggam di tangan, ia memiliki kemungkinan mendapatkan kehidupan yang layak dengan memperoleh tunjangan profesi. Sungguh ironis memang!

Jalan satu-satunya yang bisa ditempuh agar pendidikan di Indonesia mendapatkan hasil yang bisa dipertanggungjawabkan adalah kembali pada masing-masing guru untuk membangun komitmen dengan menyadari posisinya masing-masing. Guru memang memiliki fungsi strategis dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung-jawab. Permasalahannya kemudian, bagaimana seorang guru mampu menjalankan fungsi semacam itu jika ia sendiri tidak memiliki karakter sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang. Analoginya sederhana, mungkinkah seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain jika ia tak memiliki sesuatu untuk diberikan? Mungkinkah seseorang memberikan uang jika ia sama sekali tak memiliki uang? Hal semacam ini patut menjadi renungan kita bersama, terutama para pendidik yang ketercerahan kehidupan masa depan terletak dipundaknya.
Menjadi guru mungkin bukan pilihan, tapi ketika seorang manusia telah terseret dalam arus pusaran takdir dengan keniscayaan menjadi guru tanpa kemampuan sedikitpun menghindar dari keniscayaan semacam itu, pada saat yang bersamaan ia harus segera menyadari bahwa profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Bahkan saking mulianya profesi itu, Sayyidina Ali yang merupakan pintu ilmu, bersedia menjadi hamba seseorang yang mengajarkan satu huruf kepadanya. Maka alangkah naifnya jika hanya demi mengejar perolehan materi semata, guru bersedia melakukan tindakan tak terpuji yang mengesampingkan aspek moralitas.
Saya tak mengatakan bahwa uji sertifikasi bukan hal yang penting. Tapi percayalah, tanpa uji sertifikasipun, kalau para guru mempersembahkan hidupnya secara total dengan kemauan mengembangkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, produk pendidikan akan dapat dipertanggungjawabkan pada kurun waktu kedepan. Dan yakinlah, ketika hal itu dilakukan dengan formulasi hati yang selesai – meminjam bahasanya Emha –, barakah Allah akan berseliweran menaungi kehidupan kita semua. Masih percayakah para guru dengan manajemen ’barakah’ ditengah hiruk pikuk zaman yang serba mengedepankan rasionalitas seperti sekarang ini?***

*) arsip tulisan lama oleh Em. Syuhada', Guru MI Roudlotun Nasyiin 2 Mojokerto
dimuat Majalah MPA Jatim, September 2007

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Blog

DAFTAR ISI

Arsip Blog

Flag Counter

Flag Counter

Pengikut

Breaking News

Artikel Populer Minggu Ini

Lomba

More on this category »

Esai

More on this category »

Resensi Buku

More on this category »