judul gambar
Memuat...

Jumat, 20 November 2015

Aguk Irawan Baitul Kilmah
Aguk Irawan M.N (Berpeci) bersama santri yang dibinanya Foto: Jawa Pos
SEBAGAI seorang penulis, Aguk Irawan yakin bahwa literasi bisa jadi solusi buat anak-anak muda potensial dari kalangan tidak mampu. Di pesantren yang dikelolanya para santri bebas memilih menerjemahkan atau menulis cerpen, puisi, ataupun novel.
Imam Arya Nusantara menjadi tamu pertama sore itu. Di dalam tas pemuda 26 tahun itu teronggok beberapa buku dan karya tulis yang tidak lama lagi naik cetak di salah satu penerbit.

Tak lama berselang, datanglah Muhib ke rumah yang terletak di Kasongan Permai, Bantul, Jogjakarta, itu. Pemuda berambut gondrong tersebut juga tidak datang dengan tangan kosong. Dia membawa tumpukan kertas hasil terjemahan.

"Oke, ayo kita mulai diskusinya," kata Aguk Irawan, si empunya rumah, seorang penulis yang dikenal sangat produktif itu.

Di luar Aguk, Imam, dan Muhib, hanya ada Kafi dan Aziz pada Selasa sore lalu itu (10/11). Maklum, kegiatan tersebut dilakukan di luar jadwal rutin. Tapi, toh diskusi yang diawali paparan Imam tentang kiat menerjemahkan buku itu tetap berjalan gayeng.

Begitulah, jagat literasi memang menjadi napas keseharian di rumah yang sekaligus menjadi markas Pesantren Kreatif Baitul Kilmah tersebut. Sejalan dengan tujuan Aguk saat mendirikan pesantren sebagai kelanjutan Sanggar Terjemahan Arab pada 2007 itu.

Setiap pekan Baitul Kilmah yang bermakna Rumah Kata memiliki tiga agenda rutin. Pada Senin dan Sabtu, para santri diajak berdiskusi mengenai filsafat dan terjemahan. Selanjutnya, pada Jumat malam, mereka menggelar mujahadah (doa bersama).

Baitul Kilmah memang tidak seperti pesantren pada umumnya. Santrinya lebih banyak diguyur pengetahuan literasi ketimbang agama. Karena itu, jika di pesantren konvensional santri diminta menyetorkan hafalan Alquran, di Baitul Kilmah saban minggu para santri diminta mengirim satu karya sastra. Bentuknya bebas. Bisa cerpen, puisi, novel, hingga karya terjemahan.

"Ketika Selasa atau Sabtu malam dibahas satu per satu," kata Aguk.

Pria asal Babat, Lamongan, Jawa Timur, tersebut bertugas mengoreksi. Jika sudah bagus, karya bisa dikirim ke penerbit. "Kalau untuk cerpen dan puisi, biasanya dikirim ke media massa," ucap Aguk.

Dunia pria yang ayahnya meninggal sejak dirinya berusia satu tahun itu memang dibentuk kehidupan pesantren dan aktivitas baca tulis. Ketika mengenyam bangku sekolah menengah atas di MAN Babat, Aguk juga belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Darul Ulum, Langitan, Tuban. Aguk lalu melanjutkan kuliah di Jurusan Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo. Dia berkuliah atas beasiswa Majelis A'la Islamiyah.
Pria yang terlahir dari keluarga sederhana itu kemudian meneruskan studi di Institut Agama Islam Al-Aqidah Jakarta. Saat ini pun dia masih menempuh pendidikan doktor (S-3) di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Jogjakarta. Selama di Kairo, Aguk kerap menerjemahkan karya sastra Arab. Naskah pertama yang dialihbahasakan adalah Tahta Dzilali Syams (Di Bawah Bayangan Matahari) karya Abu A'la El-Ma'ary. "Saya hidup ya dari uang hasil me­nerjemahkan," katanya.

Sampai sekarang Aguk sudah menerjemahkan sedikitnya seratus buku. Sederet karya fiksi juga sudah dia lahirkan. Antara lain Dari Lembah Sungai Nil, Hadiah Seribu Menara, Liku Luka Kau Kaku, Penantian Perempuan, dan trilogi Risalah Para Pendusta. Ada lagi novel biografi Gus Dur, Peci Miring. Bahkan, saat ini sudah ada 13 novel Aguk yang difilmkan. Yang terbaru novel Air Mata Tuhan. Novel itu kini diputar di bioskop dengan judul Air Mata Surga. Dewi Sandra menjadi pemeran utama dalam film tersebut.

Jejak panjang Aguk di jagat literasi itulah yang membuat banyak anak muda tertarik menimba ilmu darinya di Baitul Kilmah. Imam misalnya. Setahun setelah mendarat di Jogjakarta pada 2008 untuk kuliah di Jurusan Sejarah dan Budaya Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dia mulai mendengar Baitul Kilmah. "Tahu dari teman. Saya tertarik karena bisa belajar menerjemahkan dan menulis," ujarnya.

Setelah nyantri, Imam akhirnya menerjemahkan buku sejak 2009. Sampai kini hasil terjemahannya sudah mencapai sepuluh pustaka. Buku pertama yang dia alih bahasakan adalah Biografi Nabi. Saat ini Imam bahkan tidak hanya menerjemahkan buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Tapi juga ke bahasa Inggris dan Prancis.

Adapun Muhib mengaku awalnya hanya iseng ingin belajar di Baitul Kilmah. Tapi, keisengan itu ternyata berlanjut menjadi keseriusan. Muaranya, sudah banyak buku yang telah diterjemahkan pria asal Jepara tersebut. "Penghasilan dari menerjemahkan juga sudah bisa membantu ekonomi keluarga," ujarnya.

Menurut Aguk, Baitul Kilmah memang hanya diperuntukkan bagi santri yang berasal dari keluarga tidak mampu. Mulai mantan loper koran, perjual asongan, hingga penarik ojek. Mereka rata-rata sudah nyantri di pesantren lain, tapi terancam tak bisa melanjutkan pendidikan karena perkara biaya. Bagi Aguk, langkahnya itu adalah "jihad" untuk menyediakan kail ketimbang ikan. "Membantu dengan ilmu literasi lebih bermanfaat daripada membantu dengan sejumlah uang," tuturnya.

Aguk mengakui, sebelum sampai pada keputusan mendirikan pesantren literasi, dirinya sebenarnya sempat berada di persimpangan. Persisnya setelah rekan seperjuangannya mendirikan Sanggar Terjemahan Arab pada 2002, Khamran, memilih mundur enam tahun berselang. "Dia keterima menjadi dosen di Lampung," ungkapnya.

Sanggar yang berada di Sewon, Bantul, tersebut selama kurun waktu itu menampung para santri yang pandai berbahasa Arab. Di sana mereka diajari menerjemahkan buku-buku bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Aguk bimbang antara meneruskan ikhtiar di dunia literasi itu atau memilih menjadi dosen seperti sang kolega. Akhirnya keinginan untuk berbagi kepada anak-anak muda dengan latar belakang seperti dirinyalah yang menang.

Aguk mengaku tidak ingin melihat anak muda berpotensi putus sekolah karena masalah ekonomi. Dari sanalah dia lantas mengajak beberapa santri untuk belajar menerjemahkan. "Mereka bisa hidup dari sana. Gaji penerjemah juga tidak sedikit," ucap pria yang berulang tahun tiap 1 April itu. Aguk menambahkan, biasanya para santri yang datang sendiri kepadanya untuk belajar. Namun, ada juga beberapa santri hasil rekomendasi pondok pesantren yang mereka tinggali sekarang.

Perjuangannya tak sia-sia. Sejauh ini Baitul Kilmah sudah meluluskan tujuh angkatan. Tiap angkatan terdiri atas sebelas santri. Adapun kurikulum belajarnya hanya dibatasi dua tahun. "Kalau sudah dua tahun, mereka dianggap sudah mandiri. Bisa mencari uang sendiri dengan ilmu literasi yang didapat dari sini," jelas bapak dua anak itu.

Meski bercikal bakal sanggar yang mengajarkan praktik penerjemahan, ungkap Aguk, para santri di Baitul Kilmah tidak hanya diajari mengalihbahasakan. Mereka bebas mempelajari berbagai karya sastra yang disuka. Boleh cerpen, novel, atau puisi.

Akibat keterbatasan tempat, Aguk mengaku tidak bisa menampung semua santri. Saat ini dia memondokkan para santri di rumah pribadinya di Kasongan. Tapi, dalam waktu dekat mereka memiliki pondok pesantren baru. Aguk tengah membangun rumah joglo di Jalan Parangtritis Km 8, Jogjakarta. Saat ini pembangunan Pondok Baitul Kilmah telah memasuki tahap penyelesaian. Kerangka bangunan dan atap selesai dibangun. "Tinggal pasang keramik, jendela, sama pintu. Kalau sudah selesai, seluruh santri bakal pindah ke sana," katanya. (*)
sumber: http://www.jpnn.com/read/2015/11/19/339562/Ketika-Novelis-Aguk-Irawan-%22Berjihad-Literasi%22-di-Pesantren-Baitul-Kilmah-

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Blog

DAFTAR ISI

Arsip Blog

Flag Counter

Flag Counter

Pengikut

Breaking News

Artikel Populer Minggu Ini

Lomba

More on this category »

Esai

More on this category »

Resensi Buku

More on this category »