judul gambar
Memuat...

Sabtu, 14 November 2015

Oleh: Em. Syuhada')
PERBINCANGAN seputar pendidikan memang selalu menarik. Diskusi tentangnya menawarkan berbagai pintu kemungkinan yang tak habis digali, bahkan mungkin tak pernah selesai. Konsep belajar sepanjang hayat (long live education) atau dalam terminologi islam ‘belajarlah sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat’ adalah sepenggal bukti bahwa pendidikan identik dengan kemanusiaan. Selama kehidupan ada, selama itu pula pendidikan harus tetap dilangsungkan demi mempertahankan identitas kemanusiaan. 

Dewasa ini, buruknya mutu pendidikan di Indonesia menjadi kenyataan yang tak hanya memprihatinkan, bahkan menjadi persoalan serius yang harus menjadi pemikiran bersama. Berbagai riset terkait dunia pendidikan meletakkan Indonesia pada kenyataan yang mengenaskan. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006 lalu menyebutkan, masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Mereka lebih memilih menonton TV (85,9%), mendengarkan radio (40,3%) daripada membaca koran (23,5%) (www.bps.go.id). 

Kondisi serupa dialami juga oleh guru di wilayah Mojokerto. Data pengunjung perpustakaan di Kota Mojokerto sampai September 2008 menunjukkan, dari total pengunjung sejumlah 14.610 orang, guru sebagai sosok yang diharapkan mampu meningkatkan minat baca di kalangan peserta didik justru terbilang sangat minim. Jumlah guru yang tercatat mengunjungi perpustakaan sebanyak 230 orang dengan rincian 60 guru laki-laki dan 170 guru perempuan. Dari kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) bahkan lebih parah, yakni 140 orang. Peringkat tertinggi didominasi oleh kalangan pelajar (6.200 orang), mahasiswa (1.510 orang), masyarakat umum (5.830 orang), serta kalangan swasta (700 orang). (Radar Mojokerto, 12/10/2008) 

Meski bersifat lokal, kondisi tersebut patut disayangkan. Sebab, guru adalah sosok yang tak boleh bosan melakukan penjelajahan intelektual. Keberadaan guru yang belum menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk memperluas cakrawala pemikiran tak bisa dipandang remeh begitu saja. Perpustakaan identik dengan membaca. Ketika guru enggan ke perpustakaan, ada kemungkinan ia kurang memiliki greget untuk mengembangkan potensi keguruannya. Padahal, dengan banyak membaca, guru akan mendapatkan ide-ide baru sehingga bisa melahirkan berbagai terobosan kreatif untuk mendongkrak kualitas peserta didik sesuai dengan profesi yang digelutinya.

Menjadi Guru Kreatif
Di era reformasi ini, upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan menunjukkan geliat yang sedikit menggembirakan. Salah satunya dengan menerbitkan Undang-undang No.14 Tahun 2005 yang melindungi hak guru dan dosen sebagai pekerja profesional. Undang-undang yang merupakan embrio pelaksanaan sertifikasi tersebut, selain bertujuan meningkatkan mutu guru dan dosen sebagai pelaksana pendidikan di tingkat praktis, juga bermuara pada peningkatan kesejahteraan guru secara finansial. Hal penting yang patut dicatat, pelaksanaan sertifikasi bukanlah tujuan yang harus dicapai, melainkan sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Maka, sudah selayaknya jika sertifikasi tidak dimaknai oleh guru dengan “kegiatan mengumpulkan sertifikat”, yang ujung-ujungnya hanya keinginan mendapatkan kesejahteraan finansial semata. 

Yang harus dicermati dalam pelaksanaan sertifikasi adalah komponen karya pengembangan profesi yang seringkali tak bisa dipenuhi. Alih-alih melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau menulis buku pelajaran, bahkan karya tulis sebangsa artikelpun kadang jarang dilakukan. Saya sendiri sering menjumpai, untuk melengkapi berkas portofolio, sebagian guru kerap memaksakan diri memasukkan karya tulis yang sejatinya tidak termasuk dalam kategori (berupa buku, artikel (jurnal/majalah/koran), modul, ataupun buku yang dicetak lokal). Yang dilakukan justru memasukkan makalah yang notabene tugas semasa kuliah. Itupun terkadang bukan orisinal karya mereka. Bahkan kasus yang lebih miris, ada seorang teman yang memasukkan buku penghubung siswa sebagai hasil karya tulis. Bukankah hal tersebut tak perlu terjadi, jika seandainya sejak awal guru terbiasa menuangkan pemikirannya dalam karya tulis, sebagai implementasi dari intelektualitas mereka.

Ada baiknya para guru belajar dari Alexander Mongot Jaya, akrab dipanggil Pak Mongot. Ia adalah guru Madrasah Aliyah (MA) Walisongo, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah. Lelaki kelahiran Jepara, 24 April 1982, yang memiliki nama asli Agus Siswanto itu terbilang oke dalam hal berkarya (tulis). Sejak 2005 silam, Pak Mongot telah menorehkan karya berupa menulis buku Bahasa Inggris untuk pegangan siswa. Beberapa judul buku telah dihasilkannya: English Revolution, Genre in Use, Listening Hand Book, dan English Smart Book. Saat ini, Pak Mongot sedang mempersiapkan buku Genre in Use kolaborasi dengan Branti, guru SMAN 1 Jepara. Rencananya, buku itu akan diterbitkan pada semester genap mendatang.

Yang unik dari buku-buku karya Pak Mongot, mulai isi buku hingga tata letak adalah garapan tangan kreatifnya. Ditengah aktifitas mengajarnya, Pak Mongot tak mau tinggal diam. Ia berjuang untuk kreatif melakukan inovasi terhadap mata pelajaran yang ditekuni. Salah satunya, menulis buku yang lain daripada yang lain. Meski substansinya sama, harus ada hal yang menarik yang perlu ditonjolkan. Maka tak mengherankan, jika buku-buku yang ditulis Pak Mongot mendapatkan tempat di hati guru-guru lain sehingga dijadikan referensi bagi peserta didik, baik di kalangan sekolah negeri maupun swasta.

Memang tidak gampang untuk mengikuti jejak Pak Mongot. Namun, berbekal kemauan yang kuat, saya kira tak ada hal yang tidak mungkin. Saya yakin, bukannya para guru tidak mampu. Ketika Jawa Pos bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Jawa Timur beberapa tahun lalu menyediakan rubrik khusus yang memuat artikel guru, tulisan guru tak kalah dengan penulis profesional. Hanya saja, kemauan untuk memulai memang membutuhkan perjuangan berat dan juga berdarah-darah. Kreatifitas tidak bisa datang sendiri. Harus ada perjuangan untuk memulai. Maka, tak ada jalan lain. Ayo menulis, wahai para guru! Jadikan kreatifitas itu air liur yang terus mengucur sepanjang umur. Jangan jadikan kreatifitas itu air kencing yang hanya mengalir ketika mulut direguki air.***

*)Em. Syuhada', Penulis adalah guru agama SDN Talunrejo 3 Bluluk Lamongan.

0 komentar:

Posting Komentar

Pengunjung Blog

DAFTAR ISI

Arsip Blog

Flag Counter

Flag Counter

Pengikut

Breaking News

Artikel Populer Minggu Ini

Lomba

More on this category »

Esai

More on this category »

Resensi Buku

More on this category »